Yuhuuuu…

Yuhuuuu…

Aku mendengar panggilan itu. Suara yang jelas aku kenal. Namun aku memilih mengacuhkan. Maaf, aku tengah sibuk bekerja. Hidup butuh uang.

Yuhuuuu…

Kembali aku mendengar panggilan itu. Hatiku berdetak kencang. Tapi otakku yang menang. Kerja kerja kerja. Uang uang uang.

Yuhuuuu…

Kali ini aku tak mendengar. Asyik bercengkerama dengan uang . Menikmati kehidupan.

Hingga suatu hari. Aku sudah tua dan berencana menikmati masa pensiun. Cucuku datang. Membawa kesedihan dalam matanya.

“Kenapa ?” tanyaku.

“Apakah Kakek yang menandatangani ijin pendirian sebuah pabrik semen di Rembang ?”

Aku terkejut. Pertanyaan apa ini.

“Jika benar. Aku malu punya kakek seperti Kakek !”

Aku terperanjat. Mendadak kupingku menangkap suara lain.

Yuhuuuu…

Yuhuuuu…

Lawan : Keadilan yang Tak Adil

Pada siapakah aku bertanya ? Ketika keadilan terasa dangkal. Ketuk palu hakim dianggap sabda keadilan. Kamu kedaluwarsa ! Layak masuk museum. Dibekukan dalam kotak kaca. Atau dalam pigura yang digantung ditembok.

Sang hakim menutup mata hatinya. Melupakan ancaman akan kehidupan di masa depan. Ancaman yang akan turut dirasakan anak, cucu atau cicitnya nanti.

Sementara seorang mantan gubernur menepi. Jadi petani katanya. Ia yang memutuskan merebut air kehidupan kami. Atas nama kekuasaan yang pongah. Mbali ndeso mbangun ndeso, ndasmu ! Kau menjatuhkan hukuman mati buat rakyatmu. Kau akan dikenang sebagai penghancur air kehidupan.

Gubernur yang sekarang seolah tak berdaya. Silahkan menempuh jalur hukum. Silahkan teruskan menghancurkan air kehidupan. Katanya banteng tapi tak punya nyali. Katanya partai wong cilik tapi mengabdi pada kekuasaan dan pemodal. Sesuai yang tertera di kaosnya – “Dasar asu kabeh !”

Aku akan mengingat semua wajah-wajah penipu. Kan ku ceritakan kepada anak cucu. Kepada siapa nanti mereka minta pertanggungjawaban. Saat air susah dicari. Ketika sawah menghilang. Semua berganti semen. Padahal semen tak bisa dimakan.

Lawan : Keadilan yang Tak Adil